Kamis, 30 Januari 2014

cerpen “KARNA UANG”



Bagi sebagian orang miskin, punya uang banyak itu kebahagiaan dan kesempurnaan. Tak perlu bersusah payah dan bekerja terlalu keras. Banyak orang berdemo ingin gaji bulananya naik. Tapi nyatanya usaha mereka dari subuh hingga petang meneriaki gedung pemerintah itu nihil. Mereka hanya bisa menuntut tanpa berfikir. Banyak orang mencuri, memalak, menodong hanya untuk uang. Mereka itu miskin karena uang, atau miskin karena kurang bersyukur? Sepertinya yang kedua itu 50 persen benar. Buktinya, koruptor. Sudah kaya, masih ingin uang. Mereka para koruptor tak melihat orang bawahan mereka. Dan adapun para orang kaya yang rela mengeluarkan banyak uang demi tak mau repot. Seperti hari kemarin. Aku memergoki orang kaya menyodorkan uang pada hakim setelah persidangan ditutup. Aku sebagai saksi dari temanku yang menjadi korban.
“Bahwa benar serta jelas berdasarkan keterangan saksi-saksi dan diakui tersangka UNI ITA yang dikuatkan dengan adanya barang bukti yang berhasil disita bahwa sejak bulan Nopember  2012 sampai dengan bulan Maret 2013 telah terjadi tindak pidana Pertolongan jahat atau menerima barang berupa berlian murni seberat 11 kg dari hasil kejahatan  di Jalan Sukontolegowo harees Kecamatan lamaran Kabupaten Karawang. Maka dengan begitu tersangka UNI ITA dikenai hukuman 15 bulan penjara”
“tok tok tok” palu diketuk 3 kali oleh hakim menandakan sidang telah berakhir dengan keputusan yang telah ditentukan dan dipertimbangkan. Dan semua saksi bersorak sorai bergembira.Tetapi dibelakang persidangan setelah penutupan, Uni Ita menghampiri Hakim. Saya tak sengaja memperhatikanya.
“permisi pak, saya mohon ringan kan hukuman saya..” Uni Ita memohon.
“maaf bu, tidak bisa. Ini sudah keputusan hakim” hakim menjawab tegas sambil bergegas pergi. Sayapun mengikuti jejak mereka
“pak tolong, saya mohon. Ini ada banyak uang didalamnya untuk bapak. Tapi saya mohon ringankan hukumanya” bujuk orangtua Tersangka Uni Ita seraya menyodorkan box berwarna merah muda berisikan uang jutaan yang telah ia persiapkan. Dengan tergopoh-gopoh orangtua Uni Ita menyetarakan kakinya dengan hakim.
“MAAF BU. SAYA TIDAK BISA!” suara hakim meninggi lantas pergi meninggalkan Uni Ita dan menjauhi sogokan yang dibawa oleh Uni Ita.
            Hakim itu tak tergiur ternyata. Hukuman, memang harus berjalan adil. Negri ini memang butuh hakim tegas yang menolak mentah-mentah uang dalam koper. Dengan begitu, orang bawahan seperti saya akan merasa adil. Tetapi, seadil apapun pemerintah bagi orang miskin yang jauh akan bersyukur pasti tak akan pernah tau keadilan itu. Setelah melihat para orangkaya menyodorkan uang pada hakim, saya pergi dan membeli makanan kaki5. Duduk seketika sambil menikmati cuaca yang panasnya merasuk ke dalam baju dan membuat keringat bercucuran di tubuh yang kepanasan. Saya mendengar mereka yang selalu menuntut. Selalu ingin uang banyak. Selalu menilai salah pemerintah. Mereka akan berhenti berbicara mengolok-olok orang kaya ketika mereka sama kaya dan mendaaptkan apa yang mereka inginkan.
“huh! dagangan gimana? Laku gak mang?” tanya pengemis yang berpura pura buta sedari tadi pada ata pedagang cilok.
“alah ti segini mulu dari kemaren! Kapan kaya kali saya! Tuhan mah gak pernah adil sama kita!” mang ata mulai mengoceh
“iya mang! Kapan ya saya kaya. Duit segini aja. Cape saya! Cape! Orang kaya dapet apa yang mereka pengen mang! Kita? Engga! Kurangajar emang! Harus pake cara apa lagi kali. Serba sengsara! Kontrakan belum dibayar lagi. Lah idup gini amat ya!” tutur inah yang sedari tadi menuntun ita mengemis sambil berpura-pura buta itu.
“tu lah tuhan ak adil, saya kan pengen jadi orang kaya juga!” tukang sapu di jalan ikut berkumpul mereka dan mengeluh. Saya yang mendengar hal itu hanya tersenyum.
“iya mang! Kapan kali saya jadi kaya. Bosen saya jadi orang miskin. Gak bisa berbuat apa-apa. Gak kaya orang kaya! Masa saya kemarin ngemis ke mobil fortuner gak dikasih! Alah dasar orang kaya pelit! Mobil bagus tapi kere ngasih orang miskin duit!” celoteh ita. Kata-kata itu membuat saya sedikit sadar sebagai orang yang masih bisa memberi. Namun, bagaimana jika orang yang hanya menadahkan tanganya dapat penghasilan yang lebih daripada orang-orang yang berfikir keras tuk bekerja. Tak ada usaha.
Saya telah habiskan cilok saya. Lantas saya pergi dan menuju jalan pulang. Tetapi dijarak yang berdekatan saya melihat tukang bakso cuanki yang biasa melewati rumah saya sedang menghitung uang hasil jerih payahnya.
 “eh ubay, belum pulang?” saya bertanya pada ubay yang sedang menghitung uang hasil jualan bakso cuanki nya.
“eh mbak, belum mbak” jawab ubay sambil tersenyum lepas. Senyum yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang yang melihat kerja kerasnya seharian ini.
“waduh, abis ngitung uang nih. Dapet berapa hari ini bay? Cukup?” tanya saya lagi pada ubay.
“alhamdulillah mbak, cukup. Segini aja saya bersyukur. Soalnya ini kerja keras saya. Buat istri saya dirumah. Hehe” jawabnya lugu. Tiba tiba datang iis. Yang setiap hari juga mengirimkan koran kerumah saya.
“eh teh ani, belum pulang teh?” tanya Iis mendahului.
“eh iya nih Is saya engga naik angkot pulang kerja tadi. Jadi saya jalan.” Jawab saya
“wah pasti cape ya teh. Ayo saya antar pakai sepeda! Sekalian saya mau pulang juga.” Iis memberi tawaran pada saya.
“ah jadi ngerepotin Is. Engga apa-apa biar saya pulang sendiri aja. Kasian kamu berat bawanya. Saya kan 50 kilo is hehe” jawab saya sambil bercanda.
“dih si teteh engga apa-apa teh saya mah engga keberatan ko. Ayo naik. . Lagian kita kan searah teh” paksa Iis. Sayapun tak bisa mengelak. Saya pamit pada ubay lantas pulang bersama Iis dan sepedanya.
Ternyata, bukan sebagian orang miskin yang gila ingin punya banyak uang. mereka memang miskin akan harta. Tapi Islam mengajarkan mereka untuk tak berkata bahwa mereka miskin. Karna mereka tak pernah miskin ilmu, tak pernah miskin kasih sayang, tak pernah miskin hati, dan yang paling penting mereka memiliki Tuhan. Karna Tuhan selalu menjaga mereka, juga saya dari uang. Menjaga kami dari keserakahan harta. Dan mengajarkan kami cara bersyukur.
 Semua karna uang. Kaya karna uang, miskin karna uang. Serakah karna uang, bersyukur karna uang. Tinggal kalian pilih, uang atau Tuhan yang menciptakan adanya uang dimuka bumi ini. TAMAT.


Sinta Gisthi Ardhiani. Januari, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar