Selasa, 23 September 2014

cerpen, judul : Rindu



Ketika matahari masih bersemangat membagi kebahgiaan pada alam semesta, kuteguk segelas susu coklat ditemani beberapa potong biskuit sebagai sayarat mengisi energi yang telah kulumat kemarin. Setiap sarapan, selalu sambil kuamati beberapa bingkai foto berisi senyum manja kawan sepermainanku. Aku masih ingat wajah mereka yang penuh haru ketika piala emas melekat pada tangan kapten tim basket sekolah dasarku. Aku salah satu pemain inti, namun terkadang aku tak merasakan hangatnya senyum penyemangat. Semua pemain inti dalam tim ini punya orang belakang layar yang mampu membuat letih dan lemas menjadi kekuatan. Ayah dan ibu mereka bagaikan menransfer energi ketika keringat membasahi nomor punggung mereka. Aku hanya tersenyum pada pelatih dan pada penonton berkuncir kuda yang selalu berada dekat pelatih. Mereka tau apa yang aku tak miliki. Orangtua. Beberapa tahun melaju seperti kemarin adalah hari itu, hari dimana foto itu dicetak. Aku masih pada satu tujuan. Menjadi guru olahraga, maka dari itu ku masuki beberapa ekstrakulikuler disekolah menengah atasku. Namun kufokuskan pada satu permainan bola besar oranye karna aku punya memori kemenangan didalamnya.
Matahari mulai meredupkan cahayanya, seperti sedang mengeluh pada bulan untuk menggantikannya. Lelah memang terkadang meluluhkan segalanya. Termasuk cahaya matahari. Meski sebenarnya sinarnya itu tak akan pernah pudar, namun cara matahari memberi sinyal amat kuat untuk meminta beristirahat semalaman saja untuk tak menampakan diri. Memang sedikit munafik untuk memberi penerangan pada bumi lewat bulan. Namun apalah daya, demi ingin berguna setidaknya bulan perlu berpura-pura mau menjelma menjadi cermin untuk membantu matahari menransfer cahaya untuk menerangi malam yang amat gelap. Sore ini aku harus menyelesaikan beberapa tugas utama sebelum aku menambah tinggi badanku menjadi lebih dari 176cm. Pulang sore sudah biasa karna kurikulum baru mendukungku menjauhi rasa sendiri berada dalam rumah. Syukur kuucap penuh ketika aku harus pulang jam 4 sore dari sekolah. Kumanfaatkan penuh waktu-waktu indah tersebut sebelum aku harus pulang kerumah dan kesepian lagi.
            “ta, ntar dulu ya gua mau selesein fisika dulu bentar” ku beritahu Binta yang telah sampai pada ujung anak tangga menuju koridor kelasku untuk menungguku menebus dosa pada guru fisika ku akibat melalaikan beberapa pekerjaannya
            “oke gi, ditunggu. Jangan lama-lama” jawab Binta santai sambil melempar senyum dari bawah tangga. Untung Binta adalah manusia paling penyabar yang pernah aku kenal. Basketnya hebat sekali, ukuran badannya yang tinggi dan sedikit berisi membuat pertahanannya kuat untuk melindungi diri saat ia men-drible bola basket. Sebentar aku selesaikan tugasku karna aku hanya perlu membuat finishing dalam tugas fisikaku ini. Lalu ku tancap kaki dan berlari menuruni anak-anak tangga dan menjalani hobby menarik rambut Binta yang sedari tadi menungguku di dekat tangga masuk ke koridor kelas 12. Binta masih kelas 11 adalah alasan mengapa dia tak satu anak tangga dengan koridor menuju kelasku, dia lebih muda dariku 2 tahun sebenarnya.
            “aw! Bang Yogiiiii kebiasaan ah!” teriaknya mengenali penarik rambut hitam keriting miliknya.
            “haha udah lama gak narik rambut. Apalagi rambut lurus. yang lain mana?” tanyaku sambil membenahi rambutku yang  sedikit berkeringat karna kegerahan dilantai atas tanpa penyejuk alami.
            “narik rambut lurus?” Binta heran mengapa aku mengatakan hal tersebut. Aku telah melamun sepertinya. Tak tahu mengapa harus kukatan rindu untuk menarik rambut lurus. Apa karna tadi pagi barusaja kupandangi teman lamaku pemilik rambut lurus tersebut? Ah aku bergurau. Dia, pemilik rambut lurus berkuncir kuda yang tinggal di masalalu itu telah tinggal jauh dari kota ini bersama ayahnya untuk mengadu nasib di pulau sebrang.
            “yang lain mana?” kuulang pertanyaanku yang belum Binta jawab.
            “tadi gue sama Seli Cuma dia kelapang duluan nemuin yang lain. Oh iya gue ketemu abang Genta doong tadi.. dia senyum tau ke guee ahh gue seneng...” cerita Binta padaku. Aku memang tempatnya mengadu dan bercerita. Sebenarnya lama aku menyimpan perasaan pada Binta, namun aku masih bingung pada perasaanku. Hanya melampiaskan atau memang suka? Ah, lagian ia menyukai temanku sendiri. Taapalah, mungkin bukan Binta. Atau mungkin orang lama yang kucari? Ahh aku bergurau lagi.
            “oh ngerti gue sekarang, jadi sebenernya lo ada maksud lain gitu buat nungguin gue ditangga sini? Pantes seneng bener ya di suruh nunggu gue” ejekku pada Binta. Aku tak terlalu sakit hati, mungkin aku memang tak menyukainya sama sekali. Ah, perlukah aku pikirkan hal ini? Sepertinya tidak sama sekali.
            “hahaha ciee tau aja” Binta tertawa menggelikan.
            “dih, ayo ah ke lapang” aku mendorong Binta untuk lebih dulu berjalan.
            Sampai dilapang setelah kusimpan tas ku, aku menuju gerombolan pria yang sedang berbaris untuk siap berlari kecil mengelilingi lapangan sekitar 5 putaran. Itu rutin dilakukan untuk menguatkan mental tulang kaki ketika diajak berlari bolak-balik lapangan ketika ada pertandingan basket. Aku berlari kecil dan setelah 5 putaran hampir selesai, temanku Heri menunjuk ke arah dimana arah itu adalah pintu masuk menuju lapangan ini.
“itu pak Didin bukan bro?” seru Heri. Satu pria bertubuh tegap kira-kira setengah baya bersama satu wanita berhijab merah marun menuju ke arah kami. Para pria yang baru saja selesai pemanasan. Seperti rapuh rasanya ketika kutapakkan kaki setelah melihat ujung tangan Heri. Lemas bukan karna aku tak biasa berlari kecil, tapi kali ini hati yang luluh mampu meluluhkan seluruh tubuh yang saling terikat. Perempuan berkuncir kuda yang selalu kulihat pada bingkai foto dikamarku. Itu wajahnya, sekarang rapi terkemas oleh tudung merah marun membuat wajahnya lebih berseri ketimbang ketika aku sering menarik ujung rambutnya.
“ya, saya Didin. Saya akan menjadi pelatih kalian. Apakabar kamu Heri? Dulu masih hitam, kecil ketika kamu menyelamatkan tim basket Sdmu dari rasa malu” cengenges pak Didin. Aku ikut tersipu malu karna aku adalah lawan dari sekolah dasar Heri saat itu. selain itu, tersipu malu banyak terjadi antara pria sepertiku dan wanita. Ya, aku sedang tersipu malu daritadi mengingat bahwa akulah anak kecil yang paling sering mengerjai rambut kaka senior ku dulu ketika masih merah putih seragamku. Dan sekarang ia berhadapan denganku.
“wah, siapa ini? Pangling saya lihatnya. Apa kabar kamu Yogi?”
“baik sekali pak, amat baik” aku tersenyum lega karna pak Didin telah membuyarkan maluku.
“Dinda, masih mau balas dendam sama Yogi? Dia yang kamu nanti-nanti kehadirannya buat hari ini kan?” ledek pak Didin semakin membuatku merah seperti rebusan lobster.
“pak ngomong apa sih?” Dinda tersipu malu seperti rahasianya terbongkar
“cieeeeee” seru seluruh anak-anak didalam lapangan indoor ini
“haha, katanya kamu pengen buktiin kalo rambut aku gabisa dia jenggut-jenggut lagi” tambah pak Dindin menyempurnakan ucapannya. Aku hanya bisa senyum dan senyum tak sangka ditemui orang lama penyemangat hidupku yang sempat akan pupus.
“hehe iya sih pak, pengen bales Yogi nih” Dinda tersenyum  lebar
“ah Dinda bisa aja” kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku, mengapa hatiku berhenti bermain. seperti tergembok tak berkunci. Semestinya aku biasa saja karna Dinda adalah teman kecilku, dia senantiasa kuledek sejak kecil, senantiasa kutarik rambutnya sejak kecil. Aku amat akrab dengannya semestinya.
“din, bapak kesini dulu ya” pak Didin memberi sinyal untuk yang lain mengikutinya kepinggir lapang dan berbincang sekejap. Aku seperti tak ingin bertingkah.
“hei, melamun? Ada apa adik kecil penarik rambut?” Dinda menggodaku.
“Dinda makin cantik” aku menggodanya balik dengan khas ku.
“hei curang, masa aku digoda oleh anak kecil! Dasar” dinda tertawa seperti melepas rindu, sama sepertiku. Aku memang anak kecil, jauh umurku dengannya. Cukup jauh untuk lebih muda 8 bulan dengannya. Namun rasa rindu tak membatasi umur, rasa cinta pun begitu sepertinya. Sepertinya...
“apa anak kecil yang telah dewasa tak boleh menggoda anak besar yang masih seperti anak kecil? Ukurannya...” aku ledek Dinda habis-habisan.
“maksudmu? Kau meledeku?! YOGIIIIIIII!!!!!!” sebelum Dinda menarik rambutku, aku perlu berlari menajuh, namun sayang sekali baju bernomor punggung 88 ku tertarik cepat oleh tangan lincah Dinda yang mungkin telah dituruni genetik dari bapaknya. Dan rambutku tertarik juga. Sakit sih, namun tak terasa karna rindu temu ini telah menetralkan segala urusan. Tawa lepas menutupi pergantian jam dan pergantian matahari dan bulan. Seketika jam berhenti berdetik dan aku merasa sebahagia masalalu.
*SELESAI*

Karawang, 23 September 2014
Sinta Gisthi A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar